Para ahli perkembangan anak memiliki pandangan berbeda tentang perilaku pemalu ini. Ada ahli y7ang mengatakan, pemalu adalah suatu sifat bawaan atau karakter yang melekat pada anak sejak lahir. Bahkan, para peneliti dari Universitas Harvard menyatakan, bayi yang baru lahir memiliki kecenderungan malu yang melingkupinya sepanjang hidup.
Tapi ada juga ahli yang mengatakan, pemalu adalah perilaku hasil belajar atau respon terhadap suatu kondisi tertentu. Dengan demikian, pemalu sebenarnya dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dalam diri dari seseorang yang sangat peduli dengan penilaian orang lain terhadap dirinya dan merasa cemas karena penilaian itu, akibatnya ia cenderung menarik diri. Kecenderungan menarik diri ini, tanda-tandanya sudah bisa dideteksi sejak bayi. Misall anak kecil ada yang mau diajak semua orang dan ada yang tidak mau diajak kecuali orang yang sudah dikenalnya.
Dr. Mary Go Setiawan dalam karyanya "Menerobos Dunia Anak", menulis beberapa penyebab anak menjadi pemalu:
- Faktor Keturunan
Anak yang terlihat sensitive sejak lahir karena sang ibu mengalami tekanan jiwa dan fisik selama hamil, bisa menjadi pemalu. Tapi, factor ini sampai saat ini belum mempunyai bukti kuat.
- Masa kanak-kanak kurang gembira
Seperti orang tua sering berpindah-pindah, bercerai, meninggal, dipaksa pindah sekolah, dihina teman dsb. Semua pengallaman itu mengakibatkan terganggunya hubuungan social dengan lingkungan , suka menghindar, mundur sebelum bertarung dan tidak berani bergaul dengan orang yang tak dikenalnya.
- Kurang bermasyarakat
Pemalu juga akan muncul jika anak diabaikan perkembangannya oleh orangtuanya, dibesarkan dalam keluarga yang mengasingkan diri, dan terlalu dikekang sehingga tidak dapat melakukan hubungan social dengan masyarakat.
- Rendah Diri
Perasaan malu juga akan timbul karena anak bertumbuh pendek, kaku atau punya kebiasaan jelek, lalu berusaha menutupinya dengan cara menyendiri dan menghindari pergaulan dengan orang lain. Semua ini, karena kurangnya percaya diri dan menganggap dirinya tak sebanding dengan orang lain.
- Pandangan orang lain
Banyak anak menjadi pemalu karena pandangan orang lain yang merasuk ke dalam dirinya sejak kecil. Mungkin orang tuanya sering mengatakan bahwa ia pemalu demikian juga guru dan teman-temannya, akibatnya ia benar-benar menjadi pemalu
Sementara itu, Swallow, seorang pakar psikiater anak,membuat 10 daftar hal-hal yang biasanya dilakukan atau dirasakan anak pemalu.
- menghindari kontak mata
- tidak mau melakukan apa-apa
- memperlihatkan perilaku mengamuk (Temper Tantrum) untuk melepaskan kecemasannya.
- tidak banyak bicara, menjawab secukupnya seperti "ya", "tidak", "tidak tahu".
- tidak mau mengikuti kegiatan-kegiatan di kelas.
- tidak mau meminta pertolongan/ bertanya ada orang yang tidak dikenalnya.
- mengalami demam panggung (pipi memerah, tangannya berkeringat, keringat dingin, bibir kering) di saat-saat tertentu.
- menggunakan alasan sakit agar tak berhubungan dengan orang lain (misalnya agar tidak pergi ke sekolah)
- mengalami psikomatis.
- merasa tidak ada yang menyukainya.
Selain itu, Swallow juga menyatakan bahwa adanya beberapa situasi, baik bagi orang pemalu ataupun tidak, wajar mengalami rasa malu dan dapat diterima. Misalnya, bertemu dengan orang yang baru saja dikenal, tampil di depan orang banyak, saat menghadapi situasi baru (seperti sekolah baru, pindah rumah baru, kantor baru, dan lainnya).
Pada dasarnya, malu bukanlah sesuatu yang menjadi masalah ataupun perlu dipermasalahkan. Karena, sudah pasti bukan merupakan abnormalisasi. Bahkan dalam batasan tertentu malu justru diperlukan. Tapi, masalah justru akan muncul akibat melekatnya sifat pemalu pada seseorang, termasuk pada anak.
Pemalu jugaa dapat menjadi masalah, jika sifat ini menyebabkan potensi anak menjadi terkubur dan tidak berkembang optimal. Oleh karena itu, satu hal yang perlu diperhatikan untuk mengatasinya adalah lingkungan memegang peranan penting terhadap sifat pemalu ini. Anak akan semakin pemalu atau justru dapat mengatasi sifat ini, tergantung dari apakah lingkungannya (baca; orangtuanya) terus-terusan melindungi anak pemalu atau mendorongnya untuk mau menghadapi dunia luar sehingga anak menjadi lebih percaya diri.
Idealnya, orang tua menerima sifat pemalu anak apa adanya tanpa mempermasalahkannya. Tapi, di lain pihak, orangtua diharapkan mendorong anak untuk mengatasi rasa malu, sehingga anan percaya diri dan berkembangan sesuai potensi yang ada pada dirinya.
Jika orangtua dari awal sudah tahu bahwa anaknya pemalu dan ingin mendorongnya agar mampu mengatasi rasa malu itu, sebaiknya dari awal usaha orangtua sudah dilakukan. Usaha ini sebaiknya merupakan usaha yang bertahap. Orangtua sebaiknya mendorong anak untuk berani ke luar dan menghadapi dunia luar dengan percaya diri. Usaha ini tidak bisa dilakukan dengan tiba-tiba.
Perubahan yang tiba-tiba, bisa menjadi tekanan tersendiri bagi anak. Karena yang biasanya aman dalam lindungan orang tua, tiba-tiba orang tua berubah melepas dan "tidak mau melindungi". Mendorong anak (encourage) tidak sama dengan memaksa (push). Usaha yang tiba-tiba bukanlah mendorong tapi memaksa. Perasaan terpaksa akan membuat keadaan bertambah buruk, karena anak ditempatkan pada keadaan yang melebihi batas toleransinya. Akibatnya, anak bisa jadi malah semakin menarik diri.
Hal yang paling harus dilakukan orangtua adalah jangan menganggap remeh kekhawatiran.
Kiat-kiat mengatasi anak pemalu
1. Sebaiknya orangtua tidak mengolok-olok atau membicarakan sifat pemalu anak di depannya, karena anak merasa tidak diterima sebagaimana adanya.
2. ketahui kesukaan dan potensi anak. Lalu, doronglah anak untuk berani melakukan hal tertentu, melalui hobi dan potensi diri. Misalnya, anak suka mobil merah, sementara yang tersedia berwarna biru. Maka, anak bisa didorong untuk mengatakan pada pelayan bahwa ia menginginkan mobil berwarna merah.
3. sebaiknya orang tu secara rutin mengajak anak berkunjung ke rumah teman, tetangga, kerabat dan bermain di sana. Kunjungan sebaiknya dilakukan pada teman-teman yang berbeda. Selain secara rutin berkunjung, sebaiknya juga mengundang anak-anak tetangga atau teman-teman sekolah untuk bermain di rumah.
4. lakukan role-playing bersama anak. Misalnya, seperti contoh kedua, anak belum tentu berani berbicara pada pelayan took, sekalipun didampingi orangtuanya. Maka, ketika berada di rumah, orangtua dan anak bisa bermain peran seolah-olah sedang berada di took dan anak pura-pura berbicara dengan pelayan. Role-playing dapat dilakukan pada berbagai situasi, berpura-pura, di took, berpura-pura di sekolah, berpura-pura ada di panggung, dll.
5. jadilah contoh buat anak. Orangtua tidak hanya mendorong anak untuk percaya diri, tetapi juga menjadi model dari perilaku yang percaya diri. Anak biasanya mengamati dan belajar dari perilaku orangtuanya sendiri.
Apapun usaha yang dilakukan, sebaiknya orangtua tetap mendampingi dan tidak langsung melepas anak seorang diri. Anak bisa dibiarkan melakukan aktivitas seorang diri, jika rasa percaya dirinya sudah berkembang.
Sabili No. 11 TH. XII 17 Desember 2004/ 5 Dzulqo'dah 1425